Selasa, 09 November 2021

Korupsi Menjadi Jalan Pintas Untuk Mendapatkan dan Mempertahankan Kekuasaan

Korupsi sedang naik daun sudah tentu bersama dua kembaran nya yaitu kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini telah menjadi “tri tunggal” drakula yang menghisap uang rakyat dan kekayaan negara. Korupsi akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan, baik di media cetak, elektronik maupun dalam seminar, lokakarya, diskusi, dan sebagainya. 

Korupsi juga telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia, karena telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistimatis, sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional.

Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. 

Penanggulangan korupsi diera tersebut maupun dengan menggunakan perangkat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi banyak menemui kegagalan.

Kegagalan tersebut antara lain disebabkan karena berbagai institusi yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsinya dengan efektif,  perangkat hukum yang lemah, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menyadari akibat serius dari tindakan korupsi, bahkan sebagian aparat penegak hukum menjadikan kasus korupsi sebagai sumber pemasukan tambahan mereka di luar gaji yaitu dengan menerima suap. 

Korupsi pada umumnya dilakukan olehorang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan, baik itu di eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir. Korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai modus operandi untuk membangun diri menjadi kekuatan besar dalam kejahatan terorganisir, dan membangun tirani atau dinasti kekuasaan yang kuat dan sulit disentuh oleh hukum.  

Korupsi adalah senjatat uama kejahatan yang terorganisir untuk menjadi orang yang berkuasa. Makanya tidak heran kalau pejabat atau pengusaha di negara ini seringkali berbuat pelanggaran tapi tidak pernah dihukum, dan kalaupun di hukum mereka di berikan hukuman yang ringan, karena mereka punya uang yang bisa membeli martabat aparat yang korup. 

Sekarang pertanyaan saya sebagai penulis; BISAKAH PEJABAT DAN APARAT PENEGAK HUKUM DI NEGARA KITA YANG TERINDIKASI KORUPSI MENGUNDURKAN DIRI DENGAN SUKARELA, AGAR GENERASI MUDA AKAN MELIHAT CONTOH DARI PEJABAT SAAT INI YANG PUNYA BUDAYA MENJAGA WIBAWA DAN MARWAH LEMBAGA YANG DIPIMPIN NYA.....??! 


Rudi Karetji

Kamis, 04 November 2021

Dilema Pengusaha Jika Tidak Suap Pejabat Tidak Dapat Proyek

Ketua Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengakui suap dalam dunia usaha menjadi bumerang. Pelaku usaha kerap memberi uang pelicin karena terpaksa  untuk mendapatkan proyek.

"Ketika kami tidak melaksanakan apa yang diinginkan teman-teman di daerah. Kami dihambat. Kami sebenarnya tidak rela pemberi suap (dijerat hukum), tetapi kalau tidak memberi (suap) kami tidak dapat (proyek) apa-apa. Kami mati," kata Junaidi dalam webinar bertajuk 'Mencegah Korupsi: Mengikis Suap di Perizinan Perumahan,' Selasa, 2 November 2021.

Menurut dia, niat pemerintah pusat mempercepat ketersediaan rumah amat baik. Namun, semangat itu belum tentu itu disambut baik pemerintah daerah." Khususnya soal perizinan dan soal lahan," jelas dia.

Ia mengatakan bisnis pengembangan perumahan kerap dihadapkan pada dilema yang tinggi. Mengenai perizinan, meskipun prosesnya sudah melalui metode daring, tetapi tahapan pengurusan syarat-syarat tetap bersinggungan dengan praktik korupsi.

Pengembang, kata dia, menanggung risiko yang sangat tinggi akibat dilema ini. Pasalnya, masalah muncul sejak tahapan mendapatkan proyek hingga penjualan unit.  Misalnya pungutan sejak pembebasan tanah itu ada mulai dari RT, RW, hingga ke atas itu sudah jalan," jelas dia.

Keluhan Junaidi didengar langsung pejabat terkait dalam webinar itu. Mereka di antaranya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, dan Direktur Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. 

Semoga dengan acara webinar yang dilakukan oleh KPK ini dapat memberikan manfaat agar bisa mencegah suap dalam setiap proyek yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga propinsi dan kabupaten/kota.

INDONESIA HARUS BERSIH DARI PEJABAT DAN APARAT BERMENTAL KORUP. 


Rudi Karetji. 

Kemunafikan Pejabat Di Negeri Ini

Benar dan terbukti apa yang dikatakan kitab suci. Bahwa sesungguhnya demi masa manusia dalam keadaan merugi. Betapapun kitab suci diturunkan menjadi panduan hidup sebagai petunjuk dan pembeda antara baik dan buruk. Namun kerap kali manusia lebih senang memilih jalan kesesatan. Selain mengabaikan apa yang menjadi perintah dan larangan Tuhan. Semakin banyak pejabat di negara ini, menteri, gubernur/wagub, bupati/wabup  anggota dewan dan para aparat penegak hukum mereka melakukan kejahatan yang keji pada dirinya sendiri dan pada masyarakat 

Perbuatan keji mereka mulai dari menipu rakyat kecil dan miskin, korupsi, sex bebas, narkoba, manipulasi hukum, menindas, mengancam dan lainnya.

Dan mereka ini juga membuat seakan masyarakat miskin adalah budak- budak yang dapat dengan mudah mereka mempermainkan harkat dan martabat sebagai manusia. Memang tidak semua pejabat dan aparat penegak hukum brengsek dan munafik, namun dengan mereka pejabat dan aparat penegak hukum yang melakukan korupsi, suap, sex bebas, narkoba adalah representasi dari pejabat di negeri ini. Dan itu kenyataan dimana hampir setiap hari media elektronik dan cetak selalu menampilkan berita, korupsi, suap, narkoba, hukuman yang tidak adil dan meringankan pejabat yang korupsi. Mereka bisa melakukan semua itu karena punya kata kuncinya cuma satu mereka berani karena ada UANG. 

Dengan uang mereka bisa memenuhi semua keinginan mereka, dengan uang juga mereka bisa membeli arga diri dari para aparat penegak hukum yang bermental korup, sehingga mereka bebas dari hukuman atau paling tidak hukuman mereka ringan. Dan hakim selalu memberikan keputusan yang sangat melukai rasa keadilan. 

Namun masyarakat kecil dan miskin yang mencuri untuk agar bisa bertahan hidup kalau di tangkap di siksa, di intimidasi, di peras setelah itu di hukum dengan hukuman yang sama dengan pejabat korup. Keadilan macam apa ini. 

Namun saya masih sangat yakin, bahwa keadilan itu pasti ada, jika tidak kita dapatkan di dunia, pasti keadilan yang sesungguhnya ketika di akhirat. Dan saya sangat yakin bahwa di negara kita ini masih ada pejabat dan aparat penegak hukum yang baik. Karena jika sudah tidak ada pejabat dan aparat yang baik maka Tuhan  pasti sudah runtuhkan dan hancur Indonesia. 


Rudi Karetji

Kepala Daerah Korupsi Karena ada kesempatan Dan Lemahnya Integritas

Perilaku pejabat korupsi memiliki formula yang umum terjadi. Seseorang akan mudah melakukan korupsi karena adanya kekuasaan ditambah kesempatan serta didukung oleh rendahnya integritas.

Setidaknya ada enam penyebab seseorang bisa terseret kasus korupsi berdasarkan literatur. Penyebab pertama adalah karena faktor keserakahan.

Fakta empiris menunjukkan, para koruptor rata-rata tidak ada yang kekurangan. “Rumah mereka tidak satu, mobil tidak satu, bahkan istri juga tidak satu. Kalau punya istri satu, pacarnya lebih dari satu. Ini fakta,. 

Penyebab kedua adalah adanya kesempatan. Kesempatan ini erat kaitannya dengan kekuasaan. Sulit bagi seseorang melakukan korupsi kalau tidak punya kesempatan. Sementara kesempatan akan ada jika ia memiliki kekuasaan.

Penyebab ke tiga adalah karena kebutuhan. Namun, bukan terkait kebutuhan hidup. Melainkan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup.

“Seberapa tinggi pendapatannya, tidak akan pernah cukup kalau digunakan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupnya. 

Sebab keempat adalah rendahnya ancaman dan hukuman yang diterima. Pejabat Koruptor sudah hitung, korupsi segini ancamannya 5 tahun. Nanti divonis 2 tahun, dapat remisi 6 bulan, lalu bebas karena 17 Agutus hari raya. Itu yang menyebabkan orang melakukan korupsi karena hukumannya rendah,” jelasnya.

Penyebab ke lima adalah gagalnya sistem sehingga membuat orang berpeluang melakukan korupsi. 

Penyebab ke enam, adalah lemahnya integritas.

Faktor integritas   bisa meningkat dan menurun. “Hari ini bisa tinggi, suatu saat integritasnya bisa turun. Punya integritas tinggi juga bisa terjerembap ke kasus korupsi. 

Rabu, 03 November 2021

KPK Ingatkan Korupsi Bisa Berdampak Hingga Keluarga Besar

Direktur Koordinasi Supervisi KPK Brigjen Didik Agung Widjanarko mengingatkan seluruh pejabat pemerintah di Provinsi dan kabupaten dari kepala daerah hingga kepala SKPD bahwa tindakan korupsi akan berdampak pada pelaku dan keluarga besarnya.

Dampak tindakan korupsi selain dirasakan oleh pelaku korupsi itu sendiri, namun juga dirasakan dan melibatkan keluarga besar dari para pelaku korupsi. Berupa sanksi sosial yang dirasakan oleh keluarga," kata Brigjen Didik Agung Widjanarko, 

Menurut dia, sanksi sosial yang bakal dialami koruptor adalah dijauhi oleh tetangga dan orang sekitar. Pelaku juga dikenai sanksi kurungan penjara hingga mengembalikan kerugian negara.

Mari kita bersama-sama untuk mencegah terjadinya korupsi, dampak korupsi sangat luar biasa, berat sekali," katanya. Didik mengatakan, tindak pidana korupsi terjadi karena adanya niat dan kesempatan. Untuk itu, KPK RI terus berupaya membatasi kesempatan terjadinya korupsi melalui standar laporan yang telah ditentukan.

"Semua kembali lagi pada niat kita, kalau ada niat dan kesempatan ada maka jadilah korupsi itu," katanya.

Ia menjelaskan, bahaya kejahatan kerah putih itu sangat mengerikan sehingga dirinya mengajak seluruh pejabat untuk membunuh niat agar tidak melakukan korupsi.

"Yang berat adalah niat itu, bagaimana kita membunuh niat kita agar tidak terjadi korupsi," katanya.

Ia mengatakan, ada tujuh jenis tindakan korupsi, diantaranya merugikan keuangan negara, yaitu suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Untuk itu, ia berharap semua pihak dapat menjauhi tindakan kejahatan korupsi dan sama-sama berjuang untuk memberantas korupsi di Indonesia.

"Saya yakin dari apa yang kita terima dari negara itu saya kira cukup untuk kebutuhan hidup tapi kalau gaya hidup itu susah, tergantung kita, punya rasa syukur atau tidak," katanya.

Penulis sebagai penggiat anti korupsi dan juga sebagai masyarakat sangat berharap agar KPK dalam mengembankan tugas tidak hanya PHP (Pemberi Harapan Palsu) kepada masyarakat. Karena mengingat banyak kasus yang dilaporkan oleh masyarakat belum diproses. KPK selama ini lebih banyak mendahulukan kasus OTT. Sehingga terkesan KPK melakukan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. Salah satu contoh kasus suap mantan anggota komisioner KPU Wawan Setiawan, di mana si penerima suap sudah di hukum sedangkan sang pemberi suap Harun Masiku masih berkeliaran bebas, disini sangat terlihat jelas bahwa KPK tidak serius dalam menangani kasus korupsi. 


Rudi Karetji

Selasa, 02 November 2021

Pejabat/Kepala Daerah Yang Suap Dan Korupsi Adalah Orang Yang Sakit Mental

Pejabat dan Kepala Daerah yang korup dan suap dapat dikategorikan sebagai penderita sakit jiwa sehingga tidak layak untuk dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat.

"Harus kita ingat para koruptor tersebut orang yang sedang sakit jiwa dan tidak masuk definisi sehat menurut WHO oleh karena itu tidak layak menjadi pemimpin dan tidak layak untuk dipilih kembali menjadi pemimpin. 

Definisi sehat berdasarkan WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) adalah bukan saja tidak ada penyakit atau kecacatan tetapi mencakup hal yang lebih luas yaitu sehat secara fisik, mental dan sosial.

Karena itu, untuk memilih pemimpin bangsa baik pemimpin daerah, anggota DPR pusat maupun DPR daerah harus merujuk pada definisi sehat jasmani, rohani, mental dan sosial. 

"Pada kenyataannya saat ini kita melihat bahwa makin hari. makin jelas bahwa para pemimpin  yang kita pilih baik itu sebagai kepala daerah atau anggota dewan  banyak menjadi tersangka kasus korupsi atau suap merupakan orang-orang yang tidak sehat baik jiwa maupun sosialnya. Orang dengan kepribadian yang sehat tidak mungkin melakukan korupsi atau suap. 

Seseorang yang melakukan korupsi pasti melakukan tindakan tersebut secara sadar dan kalau jiwanya sehat tidak mungkin melakukan tindakan tersebut.e

Penting untuk diketahui bahwa para koruptor tersebut sakit jiwa sehingga secara kejiwaan tidak bisa melaksanakan amanah untuk menjadi pemimpin.

"Kita bisa melihat apa yang terjadi pada Mantan Ketua MK, seseorang yang selalu konsisten untuk mengkampanyekan anti korupsi padahal selanjutnya terbukti tertangkap tangan melakukan korupsi," ujarnya.

Untuk itu mari kita sebagai masyarakatpun harus ikut serta dalam membangun daerah dengan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dengan cara memilih pemimpin negara, pemimpin daerah dan dewan yang sehat jasmani, rohani sehat mental dan sosial. 


Rudi Karetji

Benturan Kepentingan Kepala Daerah Berpotensi Korupsi


Benturan kepentingan adalah situasi dimana terdapat konflik kepentingan seseorang yang memanfaatkan kedudukan dan wewenang yang dimilikinya (baik dengan sengaja maupun tdak sengaja) untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau golongannya sehingga tugas yang diamanatkan tidak dapat dilaksanakan dengan obyektif dan berpotensi menimbulkan kerugian.

Bentuk- Bentuk Benturan Kepentingan

Beberapa bentuk benturan kepentingan antara lain dapat dikenali sebagai berikut :

  1. Menerima gratifikasi atau pemberiaan/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatannya;
  2. Menggunakan Barang Milik Negara dan/atau jabatannya untuk kepentingan pribadi/golongan;
  3. Menggunakan informasi rahasia jabatan untuk kepentingan pribadi/golongan;
  4. Memberikan akses khusus kepada pihak tertentu tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya;
  5. Dalam proses pengawasan dan pembinaan tidak mengikuti prosedur karena adanya pengaruh dan/atau harapan dari pihak yang diawasi;
  6. Bekerja di luar pekerjaan pokoknya secara melawan hukum;
  7. Memberikan informasi lebih dari yang ditentukan, keistimewaan maupun peluang dengan cara melawan hukum bagi calon penyedia barang/jasa;
  8. Kebijakan dari pegawai yang berpihak akibat pengaruh, hubungan dekat, ketergantungan dan/atau pemberian gratifikasi;
  9. Pemberian izin dan/atau persetujuan dari pegawai yang diskriminatif;
  10. Pengangkatan pegawai berdasarkan hubungan dekat/balas jasa/ rekomendasi/pengaruh dari pegawai lainnya;
  11. Pemilihan rekanan kerja oleh pegawai berdasarkan keputusan yang tidak profesional;
  12. Melakukan komersialisasi pelayanan publik;
  13. Melakukan pengawasan tidak sesuai norma, standar dan prosedur yang telah ditetapkan karena adanya pengaruh dan/atau harapan dari pihak yang diawasi;
  14. Menjadi bagian dari pihak yang memiliki kepentingan atas sesuatu yang dinilai;
  15. Menjadi bawahan dari pihak yang dinilai;

Sumber Benturan Kepentingan

Berbagai hal bisa menjadi sumber benturan kepentingan antara lain:

  1. Penyalahgunaan wewenang, yaitu dengan membuat keputusan atau tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan atau melampaui batas-batas pemberian wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan;
  2. Perangkapan jabatan, yaitu pegawai menduduki dua atau lebih jabatan publik sehingga tidak bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen dan akuntabel selain yang telah diatur dalam Peraturan Perundang undangan;
  3. Hubungan afiliasi, yaitu hubungan yang dimiliki oleh pegawai dengan pihak tertentu baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan maupun hubungan pertemanan yang dapat mempengaruhi keputusannya;
  4. Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya;
  5. Kelemahan sistem organisasi, yaitu keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian tujuan pelaksanaan kewenangan pegawai yang disebabkan karena struktur dan budaya. 
Jika kepala daerah (Gubernur atau Bupati) ingin mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih, seharusnya dimulai dari gubernur atau bupati untuk mengurangi ego atau nafsu mempertahankan jabatan. Karena ego dan nafsu mempertahankan jabatanlah yang melahirkan benturan kepentingan. 


Rudi Karetji

Sikap Monopoli Kepala Daerah Sebagai Sumber Terjadinya KORUPSI

Berdasarkan pendapat beberapa  pakar mengatakan bahwa  monopoli kekuasaan  kepala daerah yang sangat besar dalam pengelolaan anggaran APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa dan pembuatan peraturan kepala daerah, dan adanya dinasti kekuasaan, hal ini menyebabkan kepala daerah sering melakukan tindak pidana korupsi melalui suap dan gratifikasi

Diskresi kebijakan.

Hak diskresi melekat pada pejabat publik, khususnya kepala daerah, artinya diskresi di lakukan karena tidak semua tercakup dalam peraturan sehingga diperlukan kebijakan untuk memutuskan sesuatu, sehingga apa yang ditarget itu bisa terpenuhi tanpa harus menunggu adanya aturan yang tersedia, masalahnya kemudian diskresi ini dipahami secara sangat luas, padahal diskresi itu sangat terbatas, dia hanya bisa diberi ruangnya ketika tidak ada aturan main dan itu dalam situasi yang sangat mendesak, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran yang merupakan rencana pelaksanaan Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD.

Demikian pula pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Dalam pelaksanaannya kepala daerah sering dihadapkan pada kenyataan untuk membiayai suatu kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD. Karena adanya situasi dimana seorang kepala daerah mengeluarkan biaya yang tidak ada dalam APBD, oleh sebab itu kepala daerah mencari celah untuk menciptakan pengeluaran fiktif untuk menutupi biaya tersebut sehingga kepala daerah cenderung melakukan korupsi untuk kepentingan dinas maupun untuk kepentingan pribadi.

Lemahnya Akuntabilitas.

Kolusi Eksekutif dan Legislatif dalam Pembuatan Kebijakan yang Koruptif. Kolusi antara kepala daerah dengan DPRD terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah misalnya masalah pembuatan perda dan perijinan.termasuk dalam lemahnya akuntabilitas adalah kurang nya transparansi dalam pengelolaan anggaran, pengelolaan asset dan dalam pengadaan barang dan jasa, sehingga menyebabkan kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi.

Faktor Lainya

Beberapa faktor penyebab kepala daerah melakukan korupsi lainnya antara lain karena biaya pemilukada langsung yang mahal, kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, kurang pahamnya peraturan, dan pemahaman terhadap konsep budaya yang salah.

Dari beberapa faktor penyebab korupsi kepala daerah di atas, perlu di lakukan pencegahan dan pengawasan yang efektif yaitu dengan meningkatkan pembinaan terhadap SPIP di pemerintah daerah. BPKP sebagai Pembina SPIP telah melakukan sosialisasi dan pembinaan SPIP, bekerjasama dengan KPK, telah melakukan pencegahan korupsi. BPKP telah melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam pencegahan dan pengawasan tindak pidana korupsi, namun hasilnya belum optimal, sehingga harus di tingkatkan di waktu yang akan datang. 



Rudi Karetji

Senin, 01 November 2021

Utang Kasus Yang Belum Dituntaskan Oleh KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui memiliki utang empat perkara korupsi tahun 2020 yang menjadi perhatian publik namun penanganannya belum selesai diantaranya kasus suap yang melibatkan mantan anggota komisioner KPU Wawan Setiawan. 

Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango meyakini lembaganya akan menyelesaikan empat perkara tersebut di tahun ini, guna mencapai asas kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Dan kasus- kasus itu masih terus di tangani. 

Namun menurut ICW, KPK mempunyai utang 18 kasus besar yang belum di selesaikan. 

Padahal masyarakat sangat mengharapkan keseriusan dari lembaga anti korupsi itu bekerja dengan maksimal agar tidak terkesan tebang pilih dalam penetapan tersangka. Contohnya dalam kasus suap mantan anggota komisioner KPU itu terungkap banyak pihak yang melakukan penyuapan kepada Wawan Setiawan. Tapi saat ini belum pernah di tetapkan sebagai tersangka hanya Harun Masiku. 

Hal ini benar-benar sangatlah mencerminkan bahwa KPK yang selama ini menjadi harapan negara dan masyarakat untuk memberikan rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi tidak terpenuhi. 

Selain itu dalam tuntutan jaksa KPK kepada para terdakwapun terlihat begitu lunak terkesan tidak serius. Contohnya dalam kasus korupsi dana BANSOS yang melibatkan menteri sosial dimana harusnya dituntut dengan hukuman maksimal yaitu hukuman mati atau penjara seumur hidup tapi itu tidak di lakukan dengan bermacam alibi. 

Sekali lagi masyarakat sangat berharap semoga KPK dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan negara dalam pemberantasan korupsi. Amin. 



Rudi Karetji. 

PUNGLI MERUPAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kebanyakan pungutan liar dipungut oleh pejabat atau aparat. Walaupun hal tersebut termasuk ilegal, tetapi kenyataannya hal ini jamak terjadi di Indonesia. 

Kajian ini merumuskan permasalahan yang bersifat ontologi, epistimologi, dan aksiologi dalam lingkup pungutan liar, yaitu mengenai perbuatan yang dikategorikan sebagai pungutan liar, faktor-faktor penyebab terjadinya pungutan liar, dan manfaat penegakan hukum terhadap pungutan liar.

Perbuatan yang dikategorikan sebagai pungutan liar (sogokan, uang pelicin, salam tempel) adalah tindak pidana penipuan, tindak pidana pemerasan, dan tindak pidana korupsi. Faktor-faktor penyebab terjadinya pungutan liar adalah penyalahgunaan wewenang, faktor mental, faktor ekonomi, faktor kultural dan budaya organisasi, terbatasnya sumber daya manusia, lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan, serta pelaku dituntut untuk menyetorkan sebagian hasil pungutannya kepada oknum tertentu. 

Manfaat penegakan hukum terhadap pungutan liar adalah setiap tindak pidana yang dilakukan oleh siapapun harus ditindak secara tegas tanpa memandang status, walaupun pelakunya adalah aparat hukum sendiri sehingga memberi manfaat dan berdaya guna bagi masyarakat yang mengharapkan penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan serta untuk menghilangkan anggapan masyarakat bahwa praktek pungutan liar sebagai pembenaran serta bagi pelaku itu sendiri akan timbul mental yang baik serta timbul jiwa untuk berjuangberjuang. 

Pungli, sogokan, fee dan apapun istilahnya yang dilakukan atau diterima oleh pejabat atau aparat penegak hukum itu merupakan kejahatan pidana korupsi.  Bahkan masyarakatpun saat ini juga sudah terjangkit dengan budaya pungli. 

Namun sayangnya yang sering mendapatkan tindakan tegas bahkan sampai di hukum adalah masyarakat biasa, sedangkan pejabat maupun aparat penegak hukum jarang mendapatkan hukuman. Padahal jika masyarakat melakukan pungli itu nilainya sangat kecil kisaran  Rp. 5,000 hinga Rp. 10,000. Sedangkan pejabat dan aparat penegak hukum nilainya jutaan rupiah hingga milyaran rupiah dalam bentuk sogok, suap dan fee. Inilah sistem penegakan hukum yang berdasarkan keadilan dilakukan oleh oknum-oknum yang diberikan kuasa pemegang pedang keadilan. 

Maka tidaklah heran jika banyak kasus pungli, suap, fee di lingkungan pejabat dan aparat penegak hukum sering bebas dari jeratan hukum. 


Rudi Karetji


Korupsi Menjadi Jalan Pintas Untuk Mendapatkan dan Mempertahankan Kekuasaan

Korupsi sedang naik daun sudah tentu bersama dua kembaran nya yaitu kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini telah...